Saturday, June 2, 2007

Poligami ??? (Bag.2...End)



Hari ini...Semua duduk di ruang keluarga, Mami, Aku, Mas Ari dan Mba Vivi. Setelah 2 hari Mami memberikan waktu kepada mba Vivi untuk berfikir tenang dan memberikan kejelasan atas apa yang sebenarnya sedang terjadi. Hari ini Mba Vivi akan menjelaskan semuanya. Dari awal perkawinan mereka sampai akhirnya Mas Raka memutuskan untuk menikah lagi.


Mba Vivi menarik nafas dalam. Dengan tenang dia menceritakan semuanya.


“Pada awal perkawinan kami, Mas Raka masih baik. Belum seperti sekarang ini.. Kami saling membantu dalam menghadapi kesulitan apapun, tahun bergulir, rumah tangga kami semakin mapan, ekonomi kami juga semakin mapan. Mas Raka juga sudah memegang jabatan penting di kantornya dan memegang jabatan penting di organisasinya. Untuk menjaga anak-anak, Mas Raka menyerahkannya kepada Saya. Agar anak-anak kami mendapat kasih sayang dan didikan yang baik sehingga anak-anak kami menjadi orang yang berhasil kelak. Sedangkan urusan mencuci dan memasak Mas Raka menggaji seorang pembantu,” Mba Vivi menarik nafas panjang dan melanjutkan ceritanya.


“Pada saat anak-anak kami, Angga dan Adek sudah mulai besar, Mas Raka membiarkan Saya untuk bekerja di luar rumah sebentar untuk mengurangi kejenuhan. Akhirnaya Saya mengajar play group dan mengajar ibu-ibu untuk mengaji. Kegiatan itu juga tidak setiap hari saya lakukan. Dalam seminggu hanya tiga kali,” Mba Vivi berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan kembali ceritanya.


“ Waktu berjalan… pertengkaran yang semula tidak ada menjadi ada semenjak Angga dan Adek tidak memperlihatkan prestasi sekolah yang membanggakan Mas Raka. Pada saat itu Angga dan Adek sudah mulai puber, mereka aga sedikit nakal. Hal itulah yang membuat Mas Raka gusar dan selalu menyalahkan Saya. Mas Raka menilai Saya tidak becus dalam mendidik anak, tidak bisa diharapkan sebagai ibu yang dapat mendidik anak-anaknya dengan baik. Sebagian besar pertengkaran antara kami berdua disebabkan oleh hal tersebut. Tetapi pertengkaran itu tidak ada yang mengetahuinya. Saya juga tidak pernah bercerita kepada siapapun. Kami saling menjaga kerahasian rumahtangga. Itulah komitmen kami.”


Mba Vivi menarik nafas panjang. Aku jadi kagum kepada Mba Vivi. Selama bercerita dia luar biasa tenangnya. Sedih memang tetapi tidak cengeng. Dari penjelasan Mba Vivi jelas sekali Mas Raka kecewa terhadap anak-anaknya terutama kepada Mba Vivi.


Mba Vivi melanjutkan kembali ceritanya.


“Menurut Mas Raka. Seharusnya Saya melakukan tugas sebagai seorang ibu lebih baik lagi dari apa yang telah Saya lakukan sekarang. Menjadikan anak-anak kami berhasil. Anak-anak yang dapat membanggakan seorang Ayah, yang sukses di karier dan juga sukses dalam keluarga. Dia sepertinya kecewa dengan keluarganya, dengan apa yang telah dilakukan Saya dan anak-anak. Hal itulah yang mendorong dia untuk berpoligami, dia berniat untuk menikah lagi untuk mencari seorang istri yang lebih solihah, lebih pintar, lebih pandai mendidik anak-anak, dan memberikan dia keturunan yang lebih bagus dari keturunan yang telah Saya berikan kepada Mas Raka.”


“Aku jadi heran kok bisa begitu ya? Apakah Mas Raka tidak mengerti, tanggung jawab dalam mendidik anak bukan tugas istri saja tetapi juga tugas suami. Apakah dia begitu yakin dengan istri yang dia pilih sekarang dapat memberikan keturunann yang lebih bagus dari yang sekarang,” gumam Mas Ari.


“Memang Mas Raka tidak berniat untuk menceraikan Saya, tetapi berencana berpoligami. Hal tersebut untuk mendidik Saya agar mencontoh istri yang dia pilih sekarang. Dengan demikian Saya dapat belajar untuk menjadi istri yang solihah dan diharapkan pula nantinya Angga dan Adek dapat mencontoh anak-anaknya Mas Raka dengan istri yang dia pilih sekarang,” Mba Vivi menambahkan.


Dalam hati aku berfikir. Aku jadi bingung, mengapa semuanya jadi begitu kacau. Apakah memang begitu konsep poligami. Mana yang kewajiban dan mana yang sunah sudah tidak jelas lagi, semuanya menjustifikasi setiap perbuatannya dengan mengatasnamakan agama, benar-benar membuat aku gila.


“Terus gimana rencana kamu Vi?” Tanya Mami.


“Saya sudah berfikir Mi, untuk cerai karena saya tidak bisa untuk menjadi orang yang diharapkan Mas Raka. Saya sudah tidak tahan dengan hinaan Mas Raka terhadap saya, biar saja saya yang mengalah.”


“Sudah kamu fikirkan semuanya?” tanya Mas Ari.


“Insyaallah Ri.. Mbak sanggup menghidupi diri dan anak-anak.”


“Sekarang anak-anakmu dimana?” tanya Mas Ari.


“Anak-anak dibawa Mas Raka kerumah istrinya, katanya mau memperkenalkan istri barunya.”


“Berarti anak-anakmu sudah mengetahui apa yang sedang terjadi?” kata Mami.


“Sudah Mi…pada pertengkaran kami yang terakhir Angga dan Adek ada disana. Pada saat itu Mas Raka marah karena Angga tidak mendapatkan nilai yang terbaik disekolahnya. Pada saat itulah Mas Raka terang-terangan mengatakan bahwa tidak ada yang membanggakan dia, baik istrinya maupun anak-anaknya. Dan pada saat itu pula keluar kata-kata yang sangat mengejutkan saya dan anak-anak. Mas Raka mengatakan dia ingin menikah lagi, mencari istri yang lebih dari Saya sehingga mendapatkan keturunan yang juga lebih baik dari keturunan Saya. Pada waktu itu Angga marah sekali, merasa terhina dengan ucapan Ayahnya. Akhirnya Angga marah kepada Mas Raka.”

"Pada saat itu Angga berkata tidak suka mas Raka bersikap demikian kepada Bundanya, apabila Ayahnya ingin menikah lagi, ya menikah saja. Jangan mengkambing hitamkan Bunda dan Anak-anak, pada saat itu Angga membanting pintu kamarnya."

"Dan mas Raka menjawab...liat anak yang kamu didik...tidak ada yang tau berterimakasih, tidak tau adat...kata-kata mas Raka seakan dia bukan Ayah nya, tidak sepantasnya mas Raka mengatakan hal itu kepada saya."


“Pada saat Itu Mas Raka memang keterlaluan Mi. Dia seakan tidak menghargai kami, Saya dan anak-anak. Padahal mereka adalah keturunan dia juga Mi,” kata Mba Vivi.


“Raka memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia mengatakan hal tersebut kepada kamu dan anaknya sendiri. Memang selama ini yang membantu perekonomian kalian sebelum dia mendapatkan jabatan penting dikantornya siapa, kalau bukan almarhum Ayah mu. Keterlaluan dia,” Sesal Mami.


“Apa yang ada dibenak Raka sih kok bisa berfikir seperti itu.” Kata Mas Ari.


“Entahlah… saya juga bingung.” Jawab Mba Vivi.


“Kata kamu dia akan menikah minggu ini, kok bisa secepat itu. Berarti dia dari dulu sudah mempunyai pilihan wanita yang akan dia nikahi?” tanya Mami.


“Dari cerita teman-teman organisasinya. Wanita itu adalah partner kerja di organisasinya Mi. Perempuan itu selalu mendampingi dia. Dia perempuan cerdas, mandiri, taat menjalankan ibadah, memang dia kelihatannya lebih baik dari Saya Mi.”


“Kata siapa perempuan itu lebih dari Mba Vivi. Mba Vivi juga bukan perempuan sembarangan. Mba Vivi juga pintar. Istri yang baik, sabar dam mendidik anak dengan benar. Beribadah juga taat. Mas Raka saja yang sudah gila,” kataku emosi.


Mba Vivi menarik nafas dalam lagi sambil bergumam “entahlah Tika…”


“Bagaimana dengan anak-anakmu, apakah nanti dia yang akan membiayai?” tanya Mami.


“Dia hanya mau membiayai sekolah anak-anaknya dan keperluan hidup anak-anaknya. sedangkan untuk membiayai hidup saya Mas Raka tidak mau lagi. Karena dia kecewa dengan Saya. Mengapa lebih memilih cerai daripada menerima dia untuk berpoligami.”


“Astaghfirullah, kok bisa begitu sih Mas Raka?” kata Mas Ari.


“Memang Mas Raka sudah gila. Seenaknya memperlakukan istrinya. Menuntut istrinya untuk sempurna. Apa dia itu ga tahu bahwa selama ini Mba Vivi berkorban untuk dia. Memutuskan untuk tidak berkarier karena Mas Raka menginginkan mba Vivi untuk dirumah. Menjadi istri yang baik. Benar-benar egois,” kataku.


“Sabar ya Vi. Mungkin ini cobaan untuk kita semua agar tetap dekat kepada Nya,” Kata Mami menenangkan.


“Saya tidak sanggup Mi kalau bersama dengan Mas Raka lagi. Mas Raka tidak adil dalam memperlakukan Saya dan Anak-anak. Kata-katanya terlalu kasar bagi Saya dan hati Saya sudah sangat terluka Mi. Apakah keputusan yang telah saya ambil ini benar Mi?” tanya Mba Vivi.


“Kamu berhak meminta cerai apabila memang kamu sudah tidak sanggup lagi menjalankan perkawinanmu. Perbuatan dan cara berfikir Raka tidak bisa dipahami. Dia tidak boleh memaksakan kehendaknya. Perbuatan dia sekarang menandakan dia tidak bertanggung jawab. Walau bagaimanapun, dia telah memilih kamu menjadi istri. Mengapa dia sepertinya mencampakkan kamu begitu saja. Dia harus bertanggung jawab atas pilihannya itu. Tidak menyalahkan kamu dan terus meninggalkan kamu begitu saja.”


“Saya tidak tahu lagi Mi, saya hanya ingin Mas Raka menerima saya apa adanya. Saya melakukan semuanya dengan sebaik yang saya bisa. Walaupun Adek dan Angga tidak memiliki prestasi sekolah yang terbaik tetapi mereka adalah anak-anak yang baik dan berbakti. Mereka juga taat sholat dan tidak macam-macam. Mereka tidak terlibat narkoba atau melakukan seks bebas. Mereka anak-anak saya yang saya didik dengan agama juga Mi. Mereka anak saya yang tahu bahwa Bunda mereka juga manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan.”


Mba Vivi sudah tidak bisa lagi menahan airmatanya.


“Menangislah Vi… lepaskan semua perasaan mu kepada kami. Kami disini memang untuk membantu kamu dari masalah ini.” Kata Mas Ari bijak.


Semenjak kejadian Mas Raka mengutarakan niatnya untuk menikah lagi, baru hari ini Mba Vivi menangis dan memperlihatkan kerapuhannya sebagai seorang wanita yang mungkin hampir sempurna...


END



Lovin' You....










BY: Minnie Riperton




Lovin' you is easy cause you're beautiful
Makin' love with you is all i wanna do

Lovin' you is more than just a dream come true

And everything that i do is out of lovin' you

La la la la la la la... do do do do do

 
No one else can make me feel
The colors that you bring
Stay with me while we grow old
And we will live each day in springtime
Cause lovin' you has made my life so beautiful
And every day my life is filled with lovin' you

Lovin' you i see your soul come shinin' through
And every time that we oooooh
I'm more in love with you

La la la la la la la... do do do do do

Untuk kasihku....yang mungkin lagi "sibuk" di sana....


Friday, June 1, 2007

Poligami ??? (bag.1)













“Mba Tika… ada telpon dari Jakarta. Katanya penting, ” teriak Putra mengagetkan ku dari bacaanku.

“Dari siapa Put?”

“Dari Mas Ari”

”Mas Ari...? ada apa ya...biasanya dia jarang nelpon, saking sibuknya” tanya ku kepada putra sambil menuju telpon.

“Halo...Assalamualaikum Mas”

“Halo…” terdengar suara Mas Ari dari seberang.

“Ada apa ni mas...tumben?” tanyaku

“Tika... kamu harus pulang hari ini juga ke Jakarta. Dengan Mami juga ya.”

“Loh kok ?? emang ada apa Mas, kok serius banget kelihatannya. Baru saja aku menikmati cuti ku. Masih banyak nih target buku yang belum selesai aku baca.”

“Tika... ini amat teramat serius, lebih penting dari semua itu. Kalau kamu sudah sampai di Jakarta baru Mas ceritakan semuanya,” jelas Mas Ari.


Jawaban Mas Ari menyadarkan Aku bahwa ini pasti kejadian yang amat serius, pasti ada persoalan serius yang sedang terjadi di Bandung. Aku jadi ngebayangin yang engga-engga.


“Ceritakan sedikit aja Mas, biar Aku disini ga was-was dan nerangin ke Maminya juga enak, ” pintaku

“Singkatnya begini Tika, Mami perlu ada untuk nenangin Mba Vivi karena Mas Raka mau nikah lagi dan mungkin dalam minggu ini.”


Aku kaget seperti mendengar petir di siang hari bolong yang ga ada hujan dan mendung sedikitpun.


“Astaghfirullah…Mas Ari serius? Kenapa bisa begitu Mas? “

“Ya serius lah Tika, masa Mas main-main dengan masalah yang beginian. Kita di sini juga belum tau apa yang terjadi sebenarnya.

“Terus bagaimana keadaan Mba Vivi sekarang dan anak-anaknya apakah sudah tahu rencana Mas Raka ini?


“Mas Ari belum tau, Makanya Mas Ari nunggu Mami agar Mami bisa bicara dengan Mba Vivi, menanyakan ada apa sebenaranya, karena dari hari semenjak Mas Raka mengatakan keinginannya, Mba Vivi lebih banyak diam, dan kalau ditanya juga tidak menjawab dengan jelas, hanya mengatakan bahwa Mas Raka ingin menikah lagi, anak-anak sedang bersama mas Raka saat ini, hanya itu yang mas tau. Mas dan istri mas bingung harus berbuat apa. Paling kita berdua hanya bisa memberi semangat.”


“Baiklah Mas, nanti Aku sampaikan ke Mami, Mami lagi pergi ke pasar.”

“Kamu siapin aja semuanya, sekarang kamu beres-beres dan nanti setelah Mami datang, kalian tinggal berangkat. Hati-hati nyeritain kejadian ini ke Mami ya... kasihan Mami”

“Iya Mas. Sampaikan ke Mba Vivi, yang sabar dan tabah,” pesan ku.

“Iya. Nanti Mas sampaikan. Hati-hati di jalan ya. Nanti kalau sudah mau berangkat kabarin Mas.”

“Iya Mas.”

***


“Ada apa Mba Tika? Sepertinya ada peristiwa yang serius di Jakarta?”


Aku begitu terkejut atas berita yang baru saja aku dengar dari Mas Ari sehingga tidak menyadari Putra masih berdiri disampingku. Putra adalah anak asuh Mami dan Papi, semenjak Papi meninggal, Putra lah yang mendiami rumah ini, karena Mami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah anak-anaknya.


“Begini Putra. Mas Ari memberitahu bahwa Mas Raka suaminya Mba Vivi mau menikah lagi. Mas Ari juga belum tau apa penyebabnya, tapi begitulah adanya. Hari ini juga Mba Tika dan Mami harus balik ke Jakarta,” jelasku kepada Putra.

“Kok bisa begitu ya Mba? Setahu saya perkawinan mereka baik-baik saja.”

“Entahlah… Mbak juga tidak tahu mengapa. O ya Mami kok belum pulang juga ya?”

“Mungkin Mami belanja banyak Mba. Kalau begitu saya jemput aja kali ya mba?”

“Jemput aja deh Put, biar Mba Tika di rumah untuk mempersiapkan semuanya”

“Ok deh Mba, saya pergi dulu jemput Mami.”

“Iya. Hati-hati ya Put.”


Dengan hati yang galau seakan tidak percaya, kok bisa sih Mas Raka punya fikiran seperti itu, sepertinya… ga ada masalah rumah tangga mereka. Mas Raka orangnya tidak macam-macam, cukup setia tapi kenapa bisa begini ya? Mmmh...kehidupan...tidak bisa ditebak…

Sekarang Aku harus beres-beres dan memberitahu Mami apa yang telah terjadi.

***


Mami lagi duduk di sofa istirahat sepulang dari pasar.


“Capek Mi ? Lama banget ke pasarnya?”

“Sedikit. Iya sekalian belanja untuk acara sukuran untuk anak yatim besok”

“O… mmm Mi… Mas Ari tadi nelfon…”

“Ada apa Ari nelfon?”

“Kata Mas Ari kita harus pulang hari ini. Ada kejadian yang serius di Jakarta Mi.”

“Kejadian apa. Serius banget sepertinya?”

“Mas Raka Mi… mmm Mas Raka…” Aku menghela nafas panjang. Aku bingung mau mulai dari mana.

“Kenapa dengan Raka?” tanya Mami mendesak.

“Mas Raka katanya mau nikah lagi dan katanya dalam minggu ini.”

“Apa…? Ada apa dengan Raka, kok jadi gila seperti itu?” Kelihatan sekali Mami terkejut dan tidak mengerti apa yang terjadi.

“Tapi Mami jangan mikir macam-macam dulu ya. Kita harus tahu masalah sebenarnya. Makanya kita harus ke Jakarta hari ini.”

“Ada-ada saja Raka.... Baiklah kita harus berangkat secepatnya ke Jakarta. Kamu sudah beres kan semuanya Tika?”

“Sudah Mi. Semua barang udah dimasukkan kedalam mobil. Kita tinggal berangkat.”

“Ya sudah, kalau begitu kita berangkat sekarang.”

***
Bersambung...


Monday, May 28, 2007

Selamat Untuk Kita....










Tepat 365 hari yang lalu...

28 mei 2006 pukul tiga dinihari

Di sebuah DAMRI menuju Jakarta

Kata yang menentukan kehidupan mendatang terucap

Selamat untuk kita

Yang telah menjalani hari bersama

Meski jarak dan waktu sering memisahkan

Alhamdulillah.... ikatan kasih tak luntur


Terimakasih kasih
Telah hadir di sisi
Menjadi kasih terkasih
Menjadi kakak lelaki yang tak pernah ku punya
Menjadi sahabat setia untuk mendengarkan segala keluh kesah
Menjadi sensei yang memberiku pengetahuan mengenai hal yang aku tak tau
Dan menjadi sayang dan cintaku


Meski tak bersisian
Aku merasa kita semakin dekat
Meski kadang cemburu mengisi hari
Sesuatu yang wajar aku rasa
Maafkan aku kasih...:)


Hari ini aku mengerti
Ternyata jarak tidak menjadi halangan

Niat lah yang penting


Hanya satu doaku
Semoga cinta dan sayang
Yang aku punya dan kau punya
Tetap begini atau bertambah adanya

Rinduku selalu untuk mu....